Tubuh mungil Adly Bagas (2) sekilas tampak segar dan sehat. Wajah putihnya tersenyum ceria dan mulutnya berceloteh dengan bahasa anak balita yang belum jelas.
Namun, mata orang yang melihat akan langsung terpaku pada selang oksigen yang melintang di bawah hidung Adly. Tarikan napasnya pendek-pendek, hampir mirip orang yang terengah-engah. Sudah lima bulan ini selang oksigen itu menopang hidup Adly.
Bocah itu hanya duduk di pangkuan ayahnya, Bilmar (37). Di sudut ruangan di rumahnya di Jalan Budi Swadaya I, RT 2 RW 4 Nomor 216, Kebon jeruk, Jakarta Barat, terdapat sebuah tabung oksigen warna hitam dengan kapasitas 1 liter. Selang panjang menjuntai, terhubung ke hidung Adly.
"Dokter bilang anak saya sakit infeksi paru-paru berat. Akibatnya, paru-parunya tidak maksimal memompa oksigen ke otak," kata Lina Manulang (33), ibunda Adly.
Bermula pada lima bulan lalu, saat Adly sakit diare. Setelah dirawat di rumah sakit, diarenya sembuh. Tak lama berselang badan Adly panas tinggi dan napasnya sesak. Setelah sepekan tidak membaik. Adly kembali dibawa ke rumah sakit.
"Dia langsung dibawa ke ICU dan dirawat di situ selama 1 bulan 3 minggu. Dia paling lama dirawat di ICU. Beberapa teman yang dirawat bersama dia sudah meninggal. Tabung oksigen itu pun pemberian orangtua yang anaknya meninggal," ujar Lina.
Menurut dokter, lanjut Lina, jika orang normal mengambil napas 30 kali per menit. Adly bisa mengambil napas sampai 44 kali, bahkan 60 kali per menit. Dadanya menjadi bengkak karena bekerja ekstra.
Empat jam
Setelah keluar dari ICU, Adly menjalani rawat jalan. Tabung oksigen 1 liter itu hanya bisa dipakai untuk 4 jam. Setiap mengisi ulang oksigen biayanya Rp 18.000.-
"Sekarang bisa saya atur setelan besar kecilnya aliran oksigen, jadi bisa dipakai untuk 8 jam. Kalau tidak, biayanya lebih banyak," ujar Bilmar.
Bilmar bekerja sebagai sopir metromini cadangan. Setiap kali dapat giliran menyetir, dia mendapat Rp 50.000. Belakangan ini, dia sudah jarang menyetir metromini karena harus bolak-balik membeli oksigen dan bergantian menjaga Adly dengan istrinya. Lina praktis tidak bekerja karena menunggui Adly.
"Dia bisa lepas dari tabung oksigen maksimal 1 jam. Kalau sudah hampir satu jam, tubuhnya pucat, dingin, dan ujung-ujung jarinya membiru," ujar Bilmar, sambil menunjukkan tangan mungil Adly yang memutih.
Bocah itu pun tidak bisa bermain bersama teman-teman atau kakak-kakaknya di halaman karena terikat pada selang oksigen. Kadang-kadang, dia hanya berdiri di dekat jendela dan melihat temannya bermain.
Bilmar dan Lina tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya agar putra mereka terlepas dari tabung oksigen itu.
"Dokter bilang, untuk sementara seperti ini dulu. Mereka juga tidak tahu kelanjutannya. Semua organ tubuh Adly normal dan penyebab infeksi belum jelas," ujar Lina.
Saat ini, yang diinginkan keduanya adalah memiliki satu tabung cadangan atau setidaknya mengganti tabung oksigen yang lebih besar. Mereka sering tidak tega melihat Adly tersiksa ketika tabung oksigen harus diisi ulang. "Tetapi, harganya mahal. Satu tabung 1 liter harganya Rp 750.000. Kami tidak punya uang," kata Bilmar.
Pengobatan Adly selama ini ditanggung melalui JPK Gakin. "Sudah habis Rp 200 juta. Kalau kami tanggung sendiri jelas tidak mampu," lanjut dia.
Lina berkeinginan membawa putranya untuk mendapat pengobatan alternatif. Lagi-lagi, biaya pengobatan yang masih mahal membuat mereka belum bisa melakukannya. (FRO)